Niang Tanah

“WOLOKOLI DAN TANAH LIATNYA
YANG TERLUPAKAN”
Kabupaten Sikka adalah sebuah kabupaten yang sama seperti kabupaten lainnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di pulau Flores, tentu mempunyai perjalan sendiri dalam proses kelahiran, tumbuh, dan berkembang dalam iramanya yang khas sehingga tanpa disadari kita semua telah melihat dan menikmati segala sesuatu dari kabupaten Sikka hingga saat ini.  Kabupaten Sikka hanyalah sepotong irisan kecil dari pulau Flores. Tetapi Sikka terlahir dan tumbuh secara spesifik  dan sangat berbeda dengan daerah lainnya baik itu dari segi sejarah percaturan politiknya maupun tentang budayanya. Disadari ataupun tidak apa yang dinikmati hari ini adalah bagian dari pantulan masa silam yang merupakan juga hasil dari sebuah proses evolutif yang sangat panjang. Sikka pada masa silam juga begitu sarat dengan kehidupan para tokoh dengan pola hidup ala tradisional kala itu, dimana semuanya belum ada satupun yang menggunakan teknologi canggih sekalipun orang dengan golongan (darah biru), bangsawan atau (ata ratu).

Berangkat dari pola hidup tradisional para tokoh dan semua masyarakat kala itu, saya mengajak para pembaca sekalian untuk kita menuju sebuah perkampungan kecil, dimana berada kurang lebih sekitar 20 km dari kota Maumere, tepatnya di Kecamatan Bola, yakni Desa Wolokoli....

Sebuah perkampungan kecil dengan kemiringan 30 derajat dipagari oleh lereng dan daratan, dengan warna tanah yang sangat beda dari daerah lainnya di Kecamatan Bola, itulah Wolokoli.
Kecamatan Bola dalam hal industri banyak yang harus dicatat. Tetapi yang lebih spesifik dari Kecamatan Bola itu sendiri adalah Industri kerajinan tanah liat “Tutu Unu” yang digeluti oleh masyarakat desa Wolokoli. Sebuah kerajinan sekaligus aktifitas dan dijadikan sebagai mata pencaharian hingga sekarang, tentu bukanlah hal yang lumrah. Tetapi perlu diingat bahwa pada masa silam, seperti yang sudah saya katan dari awal bahwa pada masa itu belum ada satu orangpun yang menggunakan fasilitas moderen baik itu raja atau ratu maupun masyarakat biasa. 
Wolokoli terlahir dari bumi Sikka, sebagai suatu daerah atau kampung yang telah memberikan kontribusi besar kepada seluruh masyarakat Sikka kala itu. Sejarah dan fakta telah mencatatnya dalam benak setiap insan di bumi tsunami Sikka. Tidak ada satupun daerah atau wilayah yang sama seperti Wolokoli, kalu kita lihat dari kontribusinya. Seluruh masyarakt Sikka dan para Raja sejak zaman raja adat Moag Jati Jawa, sampai ke para raja di masa Portugis Moang Don Alexius Alessu Ximenes da Silva, terus ke generasi berikutnya sampai pada raja terakhir Don Thomas da Silva, bisa hidup dan membangun Sikka kala itu, tentu merupakan juga bagian dari jasa orang Wolokoli yang mungkin dianggap hal yang lumrah atau sah sah saja, tetapi telah mampu menghidupi semua orang kala itu dengan kerajinan tanah liatnya.

Dalam ajaran kitab suci Tuhan membentuk umat manusia seperti seorang tukang periuk meramas tanah liat, tentu ini juga sangat identik dengan jasa orang Wolokoli yang mampu menghidupi semua masyarakat Sikka dan nenek moyang kita zaman dahulu. “Pergilah dengan segera ke rumah tukang periuk! Di sana Aku akan memperdengarkan perkataan-perkataanKu kepadamu. Lalu pergilah aku ke rumah tukang periuk, dan kebetulan ia sedang bekerja dengan pelarikan. Apabila bejana yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya Yer.(18:2-4).

Suatu kenyataan yang sulit diamini tentunya oleh para pembaca yang berasal dari luar Wolokoli, tetapi kalau kita kaji dari kemampuan praktis dan pragmatisnya, pantas dan layak Wolokoli disebut sebagai “PENYELAMAT” atau “PAHLAWAN”. Sayangnya, pandangan ini telah punah dan tidak tertanam dalam sanubari orang Sikka saat ini, yang telah asyik dan begitu menikmati produk-produk modern untuk memasak, namun kalau kita kembali menoleh ke belakang, bahwa kita ini sampai bisa hidup sekarang adalah karena orang tua dan nenek moyang kita, dimana untuk mempertahankan hidunya ada hal yang telah menjadi kewajiban bahwa manusia yang hidup harus makan, dan makanan itu diproses dengan menggunakan alat masak seperti periuk, kulai, magic com, dll.

Tetapi suatu pertanyaan kembali muncul, dengan menggunakan apa nenek moyang kita zaman dahulu memasak makanan...??? Kalau tidak percaya para pembaca silahkan melakukan survei mulai dari Hikong Kringa Boganatar, sampai ke Koro Kolisoro, dari Detubinga Nuaria sampai di Iwang Gete, tentu jawabannya cuma satu yaitu “TANAH LIAT”atau “UNU TANAH”. Begitu kita mendengar kata Tanah Liat, susah bahkan mustahil untuk melepaskan atau memisahkannya dari bumi Wolokoli. Alasannya, karena masyarakat Wolokoli di lahirkan untuk memberi kontribusi, untuk menjadi penolong, penyelamat, yang dalam bahasa adatnya sering kita dengar bahwa “Ami tawa, nadar mora watu, Ami bekor gegun mora tanah, Loning ina amin duru donen, tawa reta mei erin, bekor wawa bawo, hawong riwun sawe mole beta ‘Lore sai lau man, ma dutu unu dena pane”.

  • Sejarah Pembuatan Periuk tanah Wolokoli :

“ Ena hun ha wa ia, ina amin dua busi, ama amin mo’an bekor, bekor reta mei erin, blira reta blattatin. Bekor dedo wawa bawo, li’u nora tanah luk kluko (Teli yg berukuran kecil) pitu, nadar nora ‘eo gelok ‘lele pitu, watu tubun ‘lele pitu, ‘plelu meluk ‘lele pitu, du pitu-pitu poin, tena tutu unu wuwu riwun, plodo pane tena ma’a ngasung. Wuwu riwun le nian duk wutun, ma’a ngasung da’a wawa tanah dudak wulan. Unu tena perang utan daha, hering wair tena gahu, lolung utan wa’an, iana rimu a tena menu ta’in, rinu tena blatan kokon, sape matan larak ganu dala, da’a waen olor suga raga”.

Yang artinya :

“ Pada zaman dahulu kala, leluhur kami ina (ibu) Busi dan ama (bapak) Bekor, muncul di lereng Mei (area sekitar gunung Dobo) Blatatatin, muncul membawa tanah liat 7 bakul, batu tubun 7 butir, dan kelengkapan lainnya, semuanya serba 7. Dengan maksud untuk meramas tanah liat dan membentuknya menjadi periuk, agar berguna bagi orang banyak. Memberi makan lewat periuk tersebut mulai dari barat, sampai ke timur dan dari utara sampai ke selatan.  Periuk untuk menanak nasi, dan menjerang air agar mereka merasa kenyang dan mampu melepaskan dahaga, sampai matanya terang seperti bintang, dan mukanya cerah menyala seperti langit yang tampak kemerah merahan”.


  • Proses Pembuatan Periuk tanah :

Mulanya tanah digali, dejemur dan ditumbuk, kemudian diayak untuk proses penghalusan. Setelah itu dibuat adonan, diramas dan dibanting untuk dibuat bentuk. Adapun bentuk pembuatan periuk itu antara lain adalah :

·   Bentuk Kepala (Unu Arun) :

Pembuatan bentuk periuk pada bagian ini menggunakan alat berupa ‘eo, watu liman dan plelu. Setelah bagian ini terbentuk, dibiarkan beberapa jam untuk proses pengeringan.

·   Bentuk Badan (Unu Ta’in) :

Untuk membuat bentuk periuk pada bagian ini, diperlukan alat yakni watu tubun dan tutu. Tutu modelnya seperti raket tenis meja namun terbuat dari kayu keras yang permukaannya halus dan rata. Setelah bagian kepala (Unu Ta’in) yang sudah terbentuk itu menjadi kering, lalu dilanjutkan ke bentuk badan periuk.
Untuk melicinkan bagian badan dan kepala periuk bagian luar, digunakan alat yang disebut “kisung” (ranting bambu yang kecil). Setelah dilicinkan menggunakan kisung tersebut, periuk yang sudah jadi disimpan atau dijemur seadanya untuk mendapatkan proses pengeringan yang maksimal sebelum dibakar. Proses penjemurannya memakan waktu sekitar 2-3 hari untuk dijemur dibawah terik matahari. Selanjutnya setelah periuk tersebut benar-benar kering sampai di bagian dalamnya, kemudian dibakar. Dalam proses pembakaran ini perlu disiapkan kayu yang cukup, serta alang alang, agar dapat menghasilkan periuk tanah yang berkualitas tinggi yaitu warna yang tampak kemerah merahan. Pembakaran yang maksimal adalah sekitar 1 atau 2 jam bara dan api terus menyala agar, menghasilkan kualitas yang maksimal.
Selanjutnya setelah diangkat dari bara dan dingin, periuk siap  dipasarkan.



Periuk tanah yang merupakan alat memasak dengan aneka fungsi ini, secara langsung telah membuka mata publik bahwa Wolokoli yang begitu identik dengan tanah liatnya, mampu berdiri pada garda depan sebuah proses kehidupan untuk mengambil sebuah peranan penting dalam menghidupi masyarakat Sikka di zaman dahulu, sekalipun tidak dirasakan secara langsung oleh generasi kita saat ini. Napas periuk tanah seolah olah sudah dicengkeram oleh peradaban moderen yang sesungguhnya adalah merupakan imbas dari peradaban tradisional tersebut. Unu (Periuk Wolokoli) yang telah lama dilestarikan oleh masyarakat setempat, hampir punah dengan adanya tindakan pemalsuan dan penyalagunaah periuk tanah itu sendiri.

Lihat saja di beberapa tempat atau daerah penghasil (Tua) Moke, disana banyak sekali “Unu Derom” (Periuk) yang terbuat dari drum, yang secara terang-terangan telah melanggar hak cipta seseorang atau sekelompok. Petani Moke (Minuman Arak Maumere) di daerah Brai, Teteng, Koang Koja, Kec. Alok Timur dan beberapa daerah di Kec. Nelle, sudah banyak menciptakan periuk tanah versi mereka dengan bahan utama adalah drum bekas.

Hal semacam ini harus menggugah hati pemerintah dalam hal ini dinas-dinas terkait seperti Dinas Perindustrian, Dinas Pariwisata untuk meminimalisir tindakan-tindakan tersebut diatas. Tindakan ini juga sekaligus melanggar norma adat istiadat sesuai dengan kearifan lokal masing masing untuk mempertahankan kebudayaannya yang merupakan warisan nenek moyang. Tindakan pembajakan periuk tanah tersebut juga, secara jelas akan mengurangi kwalitas dan kuantitas dari Moke yang selama ini sudah menjadi minuman alkohol yang diracik dengan tangan sendiri tanpa bahan pengawet atau bahan kimia. Dampaknya juga tentu sangat negativ terhadap konsumen yang membeli moke dari hasil (Tu Tua) Masak Moke dengan menggunakan drum. Berbagai macam penyakit yang berakibat dari luluhnya sebuah logam tentu akan membawa malapetaka bagi sang peminum yang mengkonsumsi minuman tradisional tersebut.

Sudah saatnya persoalan ini harus ditanggapi sebagai suatu permasalahan serius dimana pemerintah sebagai fasilitator harus mampu mengarahkan masyarakatnya untuk tetap berwawasan nusantara, dengan tidak mengurangi sedikitpun nilai-nilai tradisional yang sudah tertanam sejak dahulu. Wolokoli pada khususnya dan Bola pada umumnya, telah banyak melahirkan kader-kader atau generasi-generasi yang merupakan bagian penting dari penyelenggaraan pemerintahan baik sejak rezim Soekarno sampai dengan rezim SBY.  

Sebut saja :  

Alm. Ben Mang Reng Say-
(Kelahiran Umauta-Bola, pernah menjabat Wakil Ketua DPR-GR RI 1966, Ketua Yayasan Atma Jaya 1962-1969, Ketua Umum Partai Katolik 1969, Deklarator Partai Katolik 1973, Anggota DPA 1073-1955, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Portugal 1975-1967, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Mexico 1976-1980),  

Laurensius Say-(Anak Petani dari Umauta-Bola, yang adalah Bupati Sikka ke II 1967-1977, Anggota MPR RI 1977-1982)

Drs. Paulus Mo’a-(Putra kelahiran Ian-Wolokoli, Menjabat Bupati Sikka 1998-2003, Mantan Wakil Ketua DPRD NTT 2004-2009, Calon Wakil Gubernur NTT 2009-2014, Sekarang Anggota DPRD NTT dari Partai Golkar)

Kristoforus Blasin-(Mutiara Hitam dari Mapitara yang adalah mantan Wakil Ketua DPRD NTT 2004-2009. Sekarang Angotta DPRD NTT dari Partai PDIP),  

Ir. Oswaldus Ms.i (Putra seorang pedagang dan petani kecil asli Wlokoli, Dosen disalah satu Perguruan Tinggi di Kupang, sekarang Anggota DPRD NTT dari Partai PPRN), dan masih banyak putra putri asal Bola-Wolokoli yang dalam goresan masa kecilnya tidak dapat dipisahkan dari periuk tanah.
 
Kesimpulannya, bahwa mereka dan kami serta kita semua besar dari periuk tanah, sekalipun sampai dengan tulisan ini saya terbitkan juga ada yang sudah tidak menikmatinya atau bahkan melihatnya lagi. Suatu kebanggan tersendiri jika periuk tanah mampu mengasilkan anak tanah yang berkiprah hampir di segala bidang pada era sebelumnya maupun era saat  ini. Kelangkaan industri periuk tanah ini, selain disebabkan karena kurangnya peran pemerintah dalam melestarikannya, juga merupakan imbas dari antusiasme dan hilangnya kesadaran masyarakat Sikka yang sudah terkontaminasi dengan indusrti moderen yang sudah begitu maraknya saat ini, merasuk dan menjelma setiap insan.

Inilah sebuah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan secara bersama sama. Pemerintahan sekarang dengan moto “MAI MOGAT HAMA-HAMA MEMBANGUN MULAI DARI DESA”, seharusnya mampu mengembalikan kebudayaan sekaligus penyangga utama ekonomi masyarakat terutama para petani periuk Wolokoli ini, yang semakin hari semakin tenggelam dan tentu suatu saat akan hilang dengan sendirinya. Ini tidak bisa dibiarkan, sehingga saya mengajak kita semua untuk mulai melatih diri, mengenali dan mencintai kearifan lokal di daerah kita masing masing, agar kita mampu mengangkat derajat dan martabat kita di kancah nasional, dengan sebuah pola kemandirian bangsa yang harus sudah kita mulai dari sekarang. Kalau bukan sekarang kapan lagi, dan kalau bukan saat ini kapan lagi.



Sungguh seperti tanah liat di tangan tukang periuk,
Demikianlah kamu di tangan-Ku”
(Yes 18:6).




EPAN GAWAN
Thank’s You