Opini

KORUPSI DAN POTRET KUSAM 
WAJAH PERADILANNYA DI SIKKA
Ketika zaman terus bergulir, Indonesia tak kunjung berbenah dari masalah praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dari 133 Negara, Indonesia menduduki ranking ke-6 sebagai Negara terkorup setelah Angola, Azerbaijan, Kamerun, Georgia, Tajikistan, Myanmar, Paraguai, Haiti, Nigeria, dan Bangladesh. Nilai Indeks persepsi Korupsi Indonesia adalah 1,9 dari rentang nilai 1-10. Ini menjadi nilai terjelek dikalangan Negara-Negara ASEAN. Padahal sejumlah Negara tetangga seperti Singapura melejit di posisi nomor lima sebagai Negara terbersih. Singapura merebut posisi dengan nilai 9,4. Malaysia pun beada jauh diatas Indonesia, bertenger di peringkat ke-37 dengan nilai 5,7.

Sejak Korupsi disamakan dengan kejahatan, banyak pemimpin berusaha mengendalikan praktek-praktek korupsi dalam penyelenggaraan Negara. Namun dalam catatan sejarah tidak ada satupun pemimpin baik di pusat maupun di daerah berhasil mengikis habis praktek korupsi. 
Dalam kurun waktu pemerintahan Orde Lama, Soekarno tercatat membentuk dua kali Badan Pemberantasan Korupsi dan menyiapkan Undang-Undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara).
Di masa Soeharto, dibentuklah Tim Pemberantas Korupsi (TPK), yang diketuai oleh Jaksa Agung, kemudian Komite Empat dan akhirnya diberlakukannya perangkat hukum baru kala itu, yakni UU No. 3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan pada masa B.J.Habibie MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Selang beberapa waktu kemudian DPR dan Pemerintah menindaklanjutinya dengan membuat UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemberantasan KKN, UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Anti Korupsi). 
Presiden RI keempat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur ) tidak mau kalah dengan apa yang telah dilakukan para pendahulunya. Segera setelah dilantik menjadi Presiden, melalui Keppres No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000, Gus Dur membentuk Lembaga Ombudsman yang mempunyai kewenangan melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan Negara. 
Semuanya berlanjut terus sampai ke Presiden Megawati Soekarno Putri dan sampai Ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, dan akan terus sampai Presiden-Presiden berikutnya. 
Percaya tidak percaya, tidak ada satupun hasil yang akan dicapai dari car-cara petinggi Negara di masa silam, masa sekarang, dan masa yang akan datang nanti.

Susan Rose –Ackerman mencatat lima hal, mengapa korupsi dinilai sebagai bentuk tindak kejahatan yang sangat berbahaya. 

Pertama : Korupsi menyebabkan delegitimasi proses demokrasi yang mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik yang benar, tetapi sebaliknya menimbulkan praktek tak terpuji, yakni politik uang.
Kedua : Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaan dan pemilik modal.
Ketiga : Korupsi meniadakan sistem promosi dan hukuman yang berdasarkan merit-base karena hubungan patron-client dan nepotisme.
Keempat : Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
Kelima : Korupsi mengakibatkan kolapsnya system ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.

Seandainya Ivent IMB (Indonesia Mencari Bakat)yang diselenggarakan oleh TRANS TV, dirubah dengan IMBK (Indonesia Mencari Bakat Korupsi) dengan melibatkan para pejabat, entah itu pejabat di kalangan eksekutif maupun legislatif, sudah tentu para juri akan kewalahan dalam memberikan nilai kepada peserta IMBK, karena saking banyaknya para pejabat yang berbakat di bidang ini. Sekalipun berbahaya orang akan selalu terdorong untuk melakukan tindakan korupsi. Hemat saya, ada lima hal yang membuat manusia tidak lagi berpikir sehat dan cenderung untuk terjerumus dalam kejahatan bernama Korupsi:

1. Para pejabat sektor public mungkin mendapatkan insentif yang kecil untuk melakukan pekerjaan secara baik dan profesional. Karenanya sogokan dijadikan sebagai pendapatan bonus.
2. Pemerintah makin dibebankan dengan pengalokasian keuntungan pada individu dan perusahan yang menggunakan kriteria hukum.
3. Perusahan swasta dan individu berupaya mengurangi biaya yang dibebankan pada mereka oleh pemerintah (pajak, bea dan cukai ) dengan melakukan sogok untuk memperkecil biaya-biaya yang seharusnya dibayar kepada Pemerintah.
4. Pemerintah memberikan kemudahan keuangan maupun fasilitas yang sangat besar pada pengusaha melalui proteksi, pelelangan, privatisasi, dan pemberian konsensi.
5. Sogokan dapat mengganti bentuk hukuman (contohnya dalam pelanggaran lalulintas) dan mempengaruhi kebijakan politik dan jual beli suara untuk memperoleh jabatan.

Perangkat hukum yang dapat berfungsi sebagai jerat kasus korupsi memang telah dibuat. Diawal era Reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menindaklanjutinya dengan membuat Undang- Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemberantasan KKN, UU No 30 tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Namun produk perundangan itu sama sekali tidak mempunyai taring sampai saat ini. Memang naïf mengharapkan KKN sirna dari bumi Indonesia, dengan hanya membuat perangkat hukum saja, tanpa dibarengi dengan kebijakan dan itikad baik penyelenggara Negara, untuk melakukan pembersihan secara total terhadap korupsi. Bahkan ketika upaya hukum dilakukan pun, kita kita justru mendapati korupsi di Indonesia semakin merajalela, jauh melebihi apa yang pernah terjadi pada masa lalu.

Dalam arti luas korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi.
Semua bentuk pemerintah rentan akan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. 
Korupsi adalah Kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 
Korupsi di definisikan oleh “Bank Dunia” sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan ke untungan pribadi.

Sedangkan ada banyak pengertian korupsi yang di gunakan oleh para peneliti, seperti :
1. Korupsi di definisikan sebagai penyalah gunaan kekeuasaan oleh pegawai pemerintah untuk kepentingan pribadi.
2. Korupsi di definisikan sebagai suatu tindakan penyelahgunaan kekayaan negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.

Menurut “Syed Hussein Alatas” topologi korupsi ada 7, yaitu :
1. Korupsi Transaktif yaitu korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan tibal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua pihak sama-sama aktif menjalankan tindak korupsi.
2. Korupsi Ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar tidak membahayakan diri, kepentingan, orang-orangnya atau hal-hal lain yang dihargainya.
3. Korupsi Investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu yang diperoleh pemberi, selain keuntungan yang di harapkan akan di peroleh di masa datang.
4. Korupsi Nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakukan khusus pada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain mengutamakan kedekatan hubungan dan bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
5. Korupsi Autigenik yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui sendiri.
6. Korupsi Suportif yaitu korupsi yang menicu penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi.
7. Korupsi Defensif yaitu tindak korupsi yang terpaksa di lakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.

Dengan beranjak dari topoligi korupsi tersebut maka kita dapat memperoleh kegunaan dalam derajat tertentu untuk mengidentifikasi fenomena korupsi. Kemunculan topologi tersebut tergantung dari faktor-faktor penentu terjadinya korupsi yang berbeda antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. 

Kabupaten Sikka, sudah cukup terkenal selain mempunyai Sumber Daya Alam yang begitu besar, Kabupaten Sikka juga tenar dari segi Korupsinya…. Anda pembaca yang budiman dan kita semua tentu tahu dan paham betul kondisi terakhir di Kabupaten Sikka, sejak Gong PILKADA Sikka dibunyikan, semua orang dengan percaya diri menunding pejabat dikala itu, diatas panggung politik bahwa beliau lah yang menjadi orang pertama di Sikka yang berani makan uang rakyat. Drs. Alexander Longginus, mantan Bupati Sikka 2003-2008, ramai dibicarakan saat itu. Semua orang waktu itu selalu mengatakan, Pa Alex sebagai biang kerok korupsi di Sikka. Mereka pun menilai bahwa kepemimpinan beliau selama lima tahun sarat akan korupsi….. Isu tentang Drs. Alexander Longinus begitu hangat di kampanyekan oleh lawan-lawan politik yang merasa dirinya sok suci. Namun mereka bagaikan “Musang Berbulu Domba”…… Drs. Alexander Longginus ditantang dengan isu ini yang pada akhirnya semua mengenal Pa Alex kala itu dengan sebutan dalam bahasa Maumere (Na’o ‘Ia), yang artinya Itu Pencurinya………

Kita semua tentu mengetahui isu Korupsi sejak awal memasuki tahun 2005. Baru berumur setahun jagung masa pemerintahan Drs. Alexander Longginus, beliau harus sudai menuai kritik dan di hojat dengan tudingan-tudingan. Mulai dari kasus Ayam Buras, Genzet Hokor, Mobil Tanki Air, sampai pada puncaknya yakni tiga kasus terbesar yaitu, Biaya Penunjang Kegiatan DPR tahun Anggaran 2004 sebesar 500 juta, Hibah 27 Kendaraan Sepeda Motor Bebek, dan Bantuan Dana Purnabakti dari Pemerintah kepada 30 anggota DPR periode 1999-2004, senilai Rp.276.500.000, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang di hembuskan kala itu, sampai pada akhirnya beliau harus mendekam dalam tahanan hanya karena iri, dengki dan kepentingan politik semata. 

Semua orang mencibir Pa Alex kala itu, tetapi apa yang bisa anda dan kita semua lihat saat ini dari sosok seorang Drs. Alexander Longginus (Mantan Bupati Sikka) saat ini. 
Semua tudingan untuk Drs. Alexander Longginus telah ditepis satu per satu, dan masyarakat hanya mengeleng-gelengkan kepala setelah Majelis Hakim PN Maumere, PM Silalahi, S.H,MH, Laurens Tampubolon, S.H dan Albon Damanik, S.H, dalam putusannya nomor 30/Pid.B/2009 tanggal 9 Novenber 2009, telah menjatuhkan “Vonis Bebas” terhadap terdakwa Drs. Alexander Longginus terkait perkara korupsi Dana Purnabakti DPRD Sikka. Semua orang menepuk dada, sungguh benar orang ini. Ekspresi masyarakat Sikka pada umumnya sama, ketika mendengar keputusan Hakim Pengadilan Negeri Maumere tersebut. 
Ibarat wajah-wajah orang yahudi dan para algojo serta imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat yang menyalibkan YESUS di bukit Golgota. Sungguh benar orang ini tidak bersalah. 
Drs. Alexander Longginus yang dulu dijuluki “Tukang Na’o”, yang pernah disalibkan oleh sekelompok orang kini hanya bisa mengumbar senyum dan sedikit lega ketika bertemu lawan-lawanya. Beliau masih mempunyai tugas maha berat dalam menjalankan Dwi fungsi Legislatif dalam lima tahun yang akan datang bersama 29 anggota DPR lainnya. 
Saya sama sekali tidak bermaksud mengintervensi dan membenarkan siapapun dalam persoalan ini. Di sisi lain dalam perkara yang sama, dengan berkas berbeda untuk tiga terdakwa lain, yakni mantan pimpinan DPRD Sikka periode 1999-2004, OLM Gudipung, Drs. AM Keupung, dan Stephanus Wula, oleh majelis hakim PN Maumere, divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Kasasi terdakwa OLM Gudipung Cs, kepada MA, ditolak. Putusan MA RI Nomor 58 K/Pos.sus/2008 tanggal 30 April 2008, menyatakan terdakwa OLM Gudipung Cs terbukti bersalah dan masing-masing harus membayar denda atau ganti rugi sebesar Rp 50 juta.

Ada yang puas atas keputusan tersebut, ada pula yang tidak puas.......
Tentu kasus ini banyak membuat ratusan dahi harus berkerut dengan pikiran masing-masing. 
Adilkah keputusan itu, ataukah tidak adil.......?????
Nasi sudah menjadi bubur, apa lagi yang mau dikata. Yang bingung tentu akan terus kebingungan memikirkan kasus ini. 
Itulah potret peradilan bangsa kita pada umumnya yang bisa kita defenisikan sendiri-sendiri, sampai kapan semuanya ini berakhir. Jika dianalogkan dengan manusia maka dapat dikatakan bahwa wajah dunia peradilan di tanah air tampak menyedihkan. Penuh borok dan bopeng. Carut-marutnya tampang peradilan kita ditandai dengan kinerja aparaturnya yang masih jauh dari harapan. Rasa keadilan yang sejatinya lahir dari rahim hukum ternyata masih menggantung di langit ilusi. Ia belum membumi. Karenanya masyarakat pun sudah kurang percaya pada aparat penegak hukum. Kredibilitas masyarakat akan dunia peradilan telah sirna oleh ulah para maling berdasi dan kaum berduit. Kentara di sini, bahwa dunia hukum dan peradilan di Indonesia telah menjadi barang rongsokan yang kurang mendapat tempat di relung hati masyarakat. Sehingga plesetan 'kasih uang habis perkara', yang gaungnya masih terdengar hingga detik ini pun semakin mendapatkan justifikasinya. Di samping itu muncul pertanyaan, kapankah praktek hukum yang adil dan netral mulai tampil di pelataran publik Indonesia? Sampai kapankah dunia peradilan kita tidak lagi dijadikan lahan bisnis yang bisa diperjualbelikan? Bagaimana caranya supaya pasal dan ayat-ayat undang-undang yang tertulis rapih dan indah tidak lagi seenaknya diinterpretasi seturut interese penafsir? Cuma waktulah yang akan menjawabnya secara niscaya.

Di Kabupaten Sikka zaman dahulu, ketika pemerintahan Bupati Paulus Samador da Cunha sampai Bupati A.M.Conterius, Korupsi masih dilakukan di bawah meja karena masih malu-malu kucing. Ketika di zaman Drs.Alexander Idong sampai Drs. Alexader Longginus, korupsi sudah ada peningkatan dan bersifat terbuka karena dilakukan diatas meja. Sekarang di masa kepemimpinan Drs. Sosimus Mitang dan dr. Wera Damianus.MM, Korupsi bukan lagi sebatas diatas meja, tetapi sampai meja-mejanya juga di korup karena sudah amat sangat terbuka dan tanpa malu malu. Krisis moral dan spritual menjadi penyebab utama semakin tumbuh suburnya korupsi.

Pada akhirnya, upaya pemberantasan KKN tak jauh beda dari upaya menegakan benang basah. Sulit, bahkan sulit sekali untuk menghindari istilah tak mungkin dilakukan. Sampai dengan berakhirnya masa jabatan Drs. Alexander Longginus dan Drs. Yoseph Ansar Rera pun, korupsi di Kabupaten Sikka belum bisa di berantas. 
Seluruh warga masyarakat mengharapkan dengan hadirnya pemimpin baru, tentu bisa membawa perubahan yang baru bagi Niang Tanah tercinta.
Harapan itu hanya menjadi kenangan kusam entah kapan bias terwujud. Janji paket SODA (Drs. Sosimus Mitang dan dr. Wera Damianus,MM)dalam kampanye politiknya cukup menggiurkan. 
Duet kepemimpinan ini menjanjikan perubahan dengan mengemban motto: 
“ MAI MOGAT HAMA-HAMA MEMBANGUN MULAI DARI DESA”. Saking memberi perhatian lebih di Desa, SODA lengah dalam mengontrol para pejabat di Lingkup Pemkab Sikka yang muali melancarkan aksinya dengan secara perlahan mengisi lembaran-lembaran milik kaum MARHAEN ke saku jas masing-masing. Sungguh teganya para herder-herder itu, yang secara tidak hormat melancarkan aksi demi terwujudnya keinginan mereka tanpa ada rasa malu sedikitpun. Bila ada orang yang melakukan korupsi tanpa ada perasaan bersalah atau tanpa merasa berdosa, maka hal ini bukan lagi masalah ekonomi dan hukum belaka, melainkan sudah merupakan masalah spiritual, moral, dan etik seseorang yang sudah bobrok. Kalau orang sudah kehilangan kesadaran moral, spiritual dan etis, ia sudah tidak mempedulikan lagi Tuhan dan sesama, apalagi dirinya sendiri. Orientasi diri dan hidupnya adalah bagaimana memuaskan hasratnya, tidak peduli apa yang akan menimpa dirinya kelak, apakah melalui hukum dunia, penilaian masyarakat, teristimewa hukuman Tuhan.

Belakangan ini, warna-warni Korupsi di Kabupaten Sikka sarat mengiringi kepemimpinan SODA yang sebentar lagi memasuki tahun ke-3. Mulai dari kasus Korupsi di DISHUBKOMINFO Kabupaten Sikka, Kasus Alkes, Kasus Pasar Alok, Korupsi di Perusahan Daerah Mawarani Maumere, Kasus Gaji Fiktif di Dishub Sikka, Kasus Raskin di Bola, Kasus Calo PNS tahun 2009 di Sikka, Kasus Pembangunan VEEM, Kasus pengadaan pipa air di PDAM Maumere, Pengadaaan Pakayan Linmas, dan masih banyak kasus-kasus lainya yang lagi maraknya saat ini sedang diburu media lokal. 

Seperti apa nasib masyarakat kecil disana. Sudah jatuh dan tertimpa tangga lagi. Bayangkan saja, masyarakat yang sedang sakit dan di kunjungi oleh keluarga harus dipungut biaya parkiran oleh pihak RSUD dr. T.C.Hillers Maumere. Sebuah pungli liar yang tidak ada ujung pangkalnya tiba-tiba muncul diatas permukaan tanpa ada PERDA atas retribusi ini. SODA bukannya memikirkan bagaimana menolong masyarakat tingkatan ekonomi kelas bawah dengan mengurangi atau membebaskan biaya pengobatan, malah membiarkan penjilat-penjilat itu berkeliaran di seputar lingkungan Rumah Sakit. Itulah potret buram yang sangat memprihatinkan di Kabupaten Sikka tercinta saat ini. Bukan kebahagiaan yang yang dirasakan oleh kaum kecil, malah kepedihan yang tak berujung dan akan terus berkelanjutan.

Memang.........!!!!!
Korupsi bukannya datang dan muncul di atas permukaan saat kepemimpinan Drs. Sosimus mitang dan dr. Wera damianus,MM. Tetapi penyakit ini telah ada sejak sebelum Negeri ini merdeka. Setelah Indonesia merdeka, banyak petinggi negara kita saat itu terjangkit virus sisa-sisa dari kaum penjajah dengan praktek korupsi yang sampai harus membuat VOC bangkrut dan gulung tikar sama sekali. Virus dari penjajah itu, kemudian berkembang biak di bumi persada ini sejak orde lama, terus bertumbuh sehat di orde baru selama ± 32 tahun, dan terus meraja lela sampai detik ini dan berhasil merambah ke segala sektor pembangunan bangsa tercinta ini. 
Korupsi di Sikka pun, bukan baru hadir dalam satu atau dua periode terakhir, melainkan korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan dahulu kala. Pada tahun 1920 Moang Teka pernah mengajak rakyat untuk tidak membayar pajak empat butir kelapa setiap pohon kepada Raja Sikka kala itu Yosephus Nong Meak da Silva (1903-1920). Sadar atau tidak, aturan ini melanggar etika dan tata cara hidup bermasyarakat dengan muatan kepentingan kalangan raja dan ratu. Suatu tindakan yang mengintimidasi rakyat jelata, dengan ancaman (mo’a Ratu odo) atau perintah Raja. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbarui dengan UU No 20/2001, jenis korupsi itu termasuk juga suap, penggelapan dalam jabatan,pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,dan gratifikasi. Ini belum sepenuhnya dipahami publik dan aparatur negara. Sesuai dengan topologi korupsi, tindakan ini masuk dalam tindakan korupsi “Pemerasan”. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa korupsi di Sikka, ada sejak zaman dahulu kala (ena hun, watu puhun blutuk, tanah wua nurak). Untuk mencegah perbuatan korupsi, selain melalui mekanisme pengawasan yang efektif, peningkatan kualitas dan wibawa hukum, jiwa dan semangat para penegak hukum harus dibangkitkan dan dibina dalam hal keadilan dan kebenaran yang bersumber dari ajaran moral dan etika sesuai dengan agama masing-masing. Tetapi yang paling terutama adalah membina moral dan spiritualitas pribadi yang menaruh rasa hormat dan takut akan Tuhan serta cinta kepada sesama.

Tantangan SODA kini semakin berat, karena persoalan KKN di Sikka yang menjadi begitu sistemik dan dalam konfigurasi yang juga semakin rumit. KKN di Sikka sulit diberantas karena telah merambah ke segala sektor, baik publik maupun swasta. Korupsi telah menjadi budaya, dalam sistem penyelenggaraan Kabupaten Tsunami ini, yang selama ini memang tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak profesional. 

Janji paket SODA akan melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme hanya menjadi retorika dan sangat klise. Akan tetapi betapapun klisenya, SODA perlu mencanangkan komitmen moral mengenai pemberantasan KKN. Tugas masyarakat adalah untuk mengawasinya, sebab bukankah semua pemimpin akan melangkah di jalan yang dilalui pendahulunya..???. SODA kini tengah ditantang untuk mewujudkan janji-janjinya itu. Dan apakah tidak terlambat jikalau SODA memulainya saat ini..??? Apalagi Jika SODA dipercaya rakyat untuk kembali memimpin Sikka yang kedua kalinya…???

Berkaca dari pengalaman terdahulu, banyak pejabat yang selau terdepak karena masalah KKN, sudah saatnya SODA harus mulai memagari diri, agar terhindar dari jerat KKN. Ingat, filosofi jari telunjuk. Disaat kita menunjuk orang lain dan merasa diri suci dengan satu jari, sadar ataupun tidak sadar kita kembali menunjuk diri kita sendiri dengan empat jari….

Pantaskah SODA dikatakan “ Menepuk air di dulang, Terpecik muka sendiri ”…….??????? 
Mengapa saya katakan demikian?. 
Karena ingatan saya masi kuat sekali. 
Salah satu isu yang dibahas SODA dalam kampanye 2008 lalu adalah kondisi Kabupaten Sikka yang saat itu sarat akan korupsi dibawah pemerintahan Drs. Alexander Longginus dan Drs. Yoseph Ansar Rera. 
Bukankah kondisi saat ini malah sama, bahkan boleh dikatakan lebih buruk dari kondisi periode lalu...?????
Tentu ada yang berbeda pendapat dengan saya, bahwa korupsi di perode lalu beda dengan sekarang. Korupsi periode lalu pelakunya adalah orang orang nomor satu kala itu.....!!!
Oh.... sabar dulu bapak, Semua kasus korupsi di periode lalu pelakunnya bukan hanya orang nomor satu kala itu, melainkan banyak orang dibawah nomor satu pun terlibat. 
Tetapi kalau ada yang masih bersih keras tidak menerima statement ini, kembali saya ajak untuk kita melihat faktanya sekarang, bahwa oknum yang diserukan melakukan korupsi saat itu, sekarang telah divonis bebas oleh pihak yang berwajib dalam hal ini pihak yudikatif. Nah bagaimana...??? Sudah jelas kan....

Untuk itu, mari kita merefleksi diri kita masing-masing, bahwa apakah saya pernah melakukannya atau tidak...???? (Hai meluk ganu anjo, bekang kepik ami gita). Barangsiapa menghakimi sesama, ia pun akan dihakimi pada hari penghakiman nanti.

Pengalaman menunjukkan bahwa amat sering praktek peradilan kita masih diwarnai dengan putusan hakim yang saling tumpang tindih. Ketika menangani sebuah perkara, antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya acapkali menjatuhkan vonis yang saling bertolak belakang. Atau bisa juga vonis yang dijatuhkan Jaksa Penuntut Umum jauh berseberangan dengan putusan yang diambil oleh Majelis Hakim. Kasus-kasus seperti inilah yang oleh masyarakat diasumsikan sebagai eksplisitasi kesewenang-wenangan aparatur dalam menegakkan hukum. 

Pada titik ini, masyarakat bisa menilai, bahwa aparat penegak hukum ternyata masih belum memiliki keunggulan profesionalitas sebagaimana yang dipersyaratkan kepada mereka. Jika ini yang terjadi maka plesetan semisal, "Hubungi Aku Kalau Ingin Menang" (Hakim), atau "Jika Akan Kalah Suap Aja" (Jaksa), dan "Perkara Orang Lain Itu Sumber Income" (Polisi) bukan hanya sebuah keisengan melainkan fakta adanya. 

Para pembaca yang budiman, tentu kebingungan memikirkan kondisi negara dan daerah kita masing-masing yang lagi diserang virus Korupsi. Virus yang belum diketemukan cara untuk membasminya sampai saat ini setelah 65 tahun kita merdeka. Virus yang tidak kalah hebatnya juga dengan Virus HIV/AIDS, dimana untuk mencegahnya adalah kesadaran yang muncul dari pribadi sendiri untuk tidak melakukannya. Di tikungan kebingungan inilah saya mengajak seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Sikka untuk kembali kita meneropong wajah peradilan yang masih menyisahkan duka nestapa di relung kalbu Niang Tanah Kabupaten Tsunami kita tercinta. 
Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.
Perjuangan Bung Karno lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bahkan memojokan Bangsa kita sendiri.
Kita belum hidup dalam Sinar Bulan Purnama, kita masih hidup di Masa Pancaroba, untuk itu tetaplah bersemangat untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menegakan keadilan, dan keberpihakan terhadap kaum MAARHAEN dengan sekuat tenaga dan tanpa henti, laksana Elang dan Rajawali. 
Selama tangisan kaum “Sandal Jepit” masih terus merasuk sukma, perjuangan kita pun belum selesai. 


MERDEKA..........!!!!!!!!